Kilatriau.id | Kuantan Singingi – Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau, tetap mempertahankan denyut nadi tradisinya. Salah satu yang paling kuat mengakar dan tak pernah padam adalah Pacu Jalur — sebuah tradisi lomba mendayung perahu panjang yang bukan sekadar olahraga air, melainkan juga perwujudan identitas budaya, sejarah, dan semangat kolektif masyarakat Kuansing.
Pacu Jalur memiliki akar sejarah yang panjang, bermula sejak abad ke-17, ketika masyarakat Kuantan Singingi menggunakan jalur—perahu panjang tanpa mesin—sebagai sarana transportasi utama menyusuri Sungai Kuantan. Jalur digunakan untuk mengangkut hasil bumi, berpindah kampung, hingga menghadiri hajatan adat dan keagamaan.
Lambat laun, jalur bukan hanya sebagai alat angkut, tetapi menjadi simbol prestise kampung. Masing-masing nagori berlomba membuat jalur terbaiknya untuk diadu dalam ajang seremonial. Tradisi ini diformalisasi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dan terus berkembang hingga kini sebagai festival budaya tahunan berskala nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih dari sekadar lomba, Pacu Jalur adalah simbol gotong royong, persatuan, dan semangat juang. Dalam satu jalur, terdapat 40 hingga 60 awak yang terdiri dari Tukang Onjai (penggoyang jalur), Timbo Ruang (komando), pendayung, hingga Tukang Tari. Kekuatan fisik saja tidak cukup—kekompakan dan keharmonisan tim adalah kunci kemenangan.
Nama-nama jalur pun mengandung makna filosofis dan doa yang dalam, seperti:
Jalur Panglimo Hitam Bintang Nagori
Sijontiak Lawik Pulau Tanamo
Rajo Bujang
dan banyak lagi lainnya—semuanya lahir dari inspirasi leluhur, sebagai bentuk penghormatan pada marwah kampung.
Puncak dari tradisi ini adalah Festival Pacu Jalur Nasional yang digelar setiap bulan Agustus di Tepian Narosa, Teluk Kuantan, dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI. Ribuan penonton dari dalam dan luar negeri datang menyaksikan kemegahan tradisi ini.
Lebih dari sekadar tontonan, Pacu Jalur kini telah menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat. UMKM lokal, penginapan, kuliner khas, hingga produk kerajinan rakyat ikut merasakan dampaknya.
Tak hanya itu, Pacu Jalur telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan kini tengah diusulkan ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Di era digital, semangat Pacu Jalur menemukan bentuk baru. Generasi muda mulai mempromosikan tradisi ini lewat media sosial, video dokumenter, animasi, hingga gim digital. Organisasi kepemudaan juga aktif menjadi sponsor dan bahkan memacu langsung jalur desa mereka sebagai bentuk regenerasi budaya.
Langkah-langkah ini menjadi jembatan antara kearifan lokal dan teknologi modern, tanpa meninggalkan akar nilai dan tradisi.
Pacu Jalur bukan hanya perlombaan, tapi juga roh budaya masyarakat Kuantan Singingi. Ia adalah identitas, kebanggaan, dan penyambung sejarah antar generasi.
“Tugas kita hari ini bukan sekadar melestarikan bentuk luarnya, tetapi juga menjaga ruh dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap kayuhan jalur,” ujar seorang tokoh adat di Teluk Kuantan.
Dengan semangat kolektif dan komitmen lintas generasi, Pacu Jalur akan terus mengalir, menjadi penjaga budaya dan kebanggaan Bumi Kuansing, di tengah dunia yang terus berubah.