Kuansing, Kilatriau.id – Suasana haru dan keprihatinan menyelimuti acara buka bersama antara insan pers dan Lapas Kelas II B Teluk Kuantan pada Selasa, 25 Maret 2025. Di balik dinding kusam dan jeruji besi, hampir setengah ribu narapidana menjalani kehidupan yang penuh keterbatasan. Ruang ibadah yang sempit, kondisi sel yang sesak, serta fasilitas yang jauh dari kata layak menjadi potret nyata kondisi lapas yang mendapat predikat sebagai yang terpadat kedua di Indonesia.
Di bulan suci Ramadan ini, suasana semakin terasa sesak. Ruangan berukuran 3×4 meter yang seharusnya dihuni oleh 15 orang kini dijejali hingga 50 narapidana. Tidur berdesakan menjadi hal biasa, bahkan tempat ibadah yang dulunya ada kini telah beralih fungsi menjadi kamar napi. Satu-satunya lapangan berukuran 4×10 meter yang tersisa harus dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas, mulai dari olahraga hingga salat Jumat dan tarawih berjemaah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT

Kelebihan kapasitas yang mencapai 810 persen membuat situasi di dalam lapas semakin rentan. Selain berisiko menimbulkan kericuhan, kondisi ini juga menjadi ladang subur bagi penyebaran penyakit menular seperti TBC. Namun, opsi pemindahan napi ke lapas lain di Provinsi Riau hampir tidak memungkinkan, mengingat keterbatasan anggaran yang dialami seluruh instansi, termasuk Lapas, pada tahun 2025.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kondisi ini. Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi, di bawah kepemimpinan Bapak Suhardiman Amby, telah menghibahkan lahan seluas 8 hektar di Desa Jake, Kecamatan Kuantan Tengah, untuk pembangunan lapas baru. Namun, proses realisasi masih menemui kendala birokrasi dan anggaran.
Kepala Lapas Teluk Kuantan, Wiwid Feryanto Rahadian, A.Md.I.P., S.H., mengapresiasi langkah Pemkab Kuansing, tetapi mengungkapkan bahwa pembangunan masih terkendala regulasi.
“Alhamdulillah, Pemkab Kuansing sudah menghibahkan tanah untuk pembangunan Lapas Teluk Kuantan. Namun, sampai hari ini kami terkendala soal memulai pembangunan. Kementerian terkait kesulitan mendapatkan anggaran jika pembangunan dimulai dari nol karena harus mendapatkan izin Presiden. Namun, untuk program lanjutan, tidak diperlukan izin tersebut. Kami berharap Pemkab Kuansing bersedia memulai pembangunan awal dengan anggaran sekitar 10 miliar agar gedung bisa segera fungsional,” ungkap Wiwid.
Tanpa langkah konkret dari pemerintah daerah, harapan para napi untuk mendapatkan ruang hidup yang lebih layak masih terasa jauh. Sementara itu, mereka terus menjalani hari-hari di balik jeruji dengan kondisi yang memprihatinkan.
Selain kepada Pemkab Kuansing, Wiwid juga telah menyampaikan kondisi Lapas Teluk Kuantan kepada Mafirion, anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PKB.
“Kami juga sudah menyampaikan dan memohon bantuan kepada Bapak Mafirion. Semoga perjuangan seluruh stakeholder bisa mengubah status Lapas Teluk Kuantan dari overkapasitas menjadi lapas yang memenuhi standar lembaga pemasyarakatan,” ujarnya.
Ramadhan di Lapas Teluk Kuantan bukan hanya soal ibadah, tetapi juga tentang perjuangan mempertahankan martabat di tengah keterbatasan yang mencekik. Harapan akan lapas baru terus menyala, meski hingga kini masih sebatas wacana tanpa kepastian.
Sumber Berita : Haluanriau.com